untuk langkah awal kmu ckup isa satu bagian dari rubik yaitu bagian satu warna, terserah kmu maw jadikan warna apa saja llu setelah jadi kmu tinggal liad di warna yg di bagian bawah seperti ini
nah yg dibawah itu lha khan ada warna yg salah nah warna yg salah itu di turunkan atau di kebawah kan atau M'/ R'/ L lalu yg paling bawah di usir klo misal na kmu tadi melakukan M' maka kmu bisamengusir bagian yg paling bawah itu kemana saja boleh ke kiri boleh juga ke kanan tetepi klo kmu melakukan R' maka kmu haruz melakukan D'untuk mengusirnya dan sama dengan ketika kmu melakukan L maka kmu haruz melakukan D lalu lihat kewarna yg tadi kmu usirlalu lihat bawahnya warna apakah itu jika warna merah kembalikan ke posisi yg seharuznya, jika di bagian R maka kmu haruz melakukan D' R' D R jika ada di bagian M maka yha haruz kmu lakukan adalah D' M' D M dan jika ada di bagian L maka D L D' L'dan begitu seterusnyasampai semua na menjadi seperti ini dan setelah itu cari seperti bagian hujau di gambar yaitu yg warnanya sama tetapi memanjang kebawah lalu lihat bawah dari warna tersebut llu lihat warna tersebut ada di bagian kiri atau dibagian kanan dari warna yg ada susun tersebut sebagai contoh anggap di bawah warna hijau tersebut adalah putih karna putih di sebelah kanan warna hijau maka inilah yg haruz anda lakukan D' R' D R D F D' F' tetapi jika warna tujuan ada di sebelah kiri warna hijau maka inilah yg haruz anda lakukan D L D' L' D' F' D F dah lakukan rumus tersebut berulang kali sampai menjadi seperti ini dan setelah menjadi seperti demikian maka putar balik rubik anda lihat di bagian tersebut apakah ada tanda yg menyrupai lambang jam 9 ada minus jika anda menemukan lambang jam 9 maka anda melakukan ini F R U R' U' F' dan jika anda menemukan minus maka anda melakukan rumus
tersebtut sekali lagi, maka anda akan mendapatkan bentuk plus tetapi jika anda tidak menemukan minus ataupun lambang jam 9 maka anda melakukan F U R U' R' F' dan setelah itu anda akan menemukan lambang jam 9 atau minus. ssetelah mendapatkan plus seperti ini anda haruz melakukan ini supaya dapat menyelesaikanlapisan paling atas R U R' U R U U R' begitu terus sampai menemukan bentuk yg menyerupai ikan buad kepala ikan tersebut di arah barat daya lalu lakukan rumus R U R' U R U U R' di ekor bagian kanan dan setelah melakukan itu anda akan mendapatkan bahwa warna bagian atas sudah sma semua tetapi jika tidak anda pasti mendapat kan bentuk ikan lagi maka lakukan lge rumus tersebut. dan setelah itu di sisi yg bagian atasnya koq masih belom selesai/second last step maka akan terlihat menyerupai ini
jika beruntung anda akan langsung dapat menuju last step yg terlihat seperti ini dari hijau
dan ini dari biru tetapi itu jika anada benar" beruntung loh nah kita anggap anda itu sial sehingga mendapatkan second last step
dangan cara menyesuaikan 2 warna yg sama di L dan R ketempat asal na llu kita akan menghadapkan bagian itu ke arah depan qta alias B lalu qta lakukan rumus ini R' F R' B2 R F' R' B2 R2 nah setelah itu apapun yg terjadi pasti sudah seperti gambar yg tadi saya bilang bila anda beruntung setelah itu warna yg sudah jadi akan ditempatkan di bagian belakang atau di bagian B maka kita lakukan rumus last step ini F2 liaht kekiri dan kekanan apakah di bagian warna yg berbeda tersebut terdapat warna yg sma dengan warna yg anda putar tadi jika dikiri maka U' jika di kanan U dan setelah itu lanjutkan dengan rumus ini M U2 M' dan setelah itu sesuaikan warnanya dah puff selesailah rubik tersebut...
Senin, 13 September 2010
Senin, 18 Januari 2010
Be briliant
First of all i would like to say that planning is everything. If you go on something but without planning that's a very fatal way of doing something so you must do everything with planning. For example 1pm watching tv so you must do so as it is already planted by you
Be briliant
First of all i would like to say that planning is everything. If you go on something but without planning that's a very fatal way of doing something so you must do everything with planning. For example 1pm watching tv so you must do so as it is already planted by you
Senin, 23 November 2009
HUKUM PADA MASA PENJAJAHAN
1
INDONESIA : HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN∗
Oleh : Erman Rajagukguk∗∗
1. Pendahuluan
Indonesia pernah dijajah Inggris selama lima tahun (1811-1816). Gubernur
Jenderal Raffles mengenalkan sistem sewa tanah di pulau Jawa. Raffles memandang
semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan
Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk
penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di
India.
Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, setelah pulau tersebut
dikembalikan Inggris kepada Belanda. Belanda meninjau kembali kebijaksanaan
mereka atas Jawa. Gubernur Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu
kebijaksanaan, diantaranya ialah, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah
mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini,
orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah. Pada tahun 1827, sebagian besar
sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya
dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk
Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan
demikian mampu membayar sewa tanah.
2. Tanam Paksa Menjadikan Rakyat Sengsara
Kebijakan Belanda kemudian berubah karena kesulitan keuangan dan persaingan
ketat. Pemberontakan Diponegoro tahun 1852-1830 menguras keuangan pemerintah
kolonial di Jawa. Kebijaksanaan Belanda yang membingungkan kedudukan orang-orang
Eropa dan Jawa menyebabkan pecahnya perang. Pertentangan mulai setelah pemerintah
kolonial membatalkan perjanjian-perjanjian sewa tanah antara pengusaha-pengusaha
∗ Disampaikan pada Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi :
Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu
(ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007.
∗∗ Guru Besar Universitas Indonesia. Sarjana Hukum (SH) Universitas Indonesia (1974), LL.M.
University of Washington, School of Law, Seattle (1984), Ph.D University of Washington, School of
Law, Seattle (1988). Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
2
Eropa dan para pangeran dari kerajaan Surakarta dan Jogyakarta di Jawa Tengah.
Penghapusan atas kontrak-kontrak ini menyebabkan kesulitan keuangan bagi penyewapenyewa
pribumi, yang telah benci terhadap bermacam pelanggaran terhadap hak-hak
istimewa bangsawan oleh Deandels dan pengganti-penggantinya. Mereka menyerahkan
kepemimpinan kepada Diponegoro, seorang pangeran dari kalangan istana Jogyakarta
yang diakui sebagai seorang penantang pengaruh Eropa di istana dan yang mempunyai
suatu reputasi kuat sebagai pemimpin mistis. Diponegoro menyatakan suatu “perang
suci” Islam melawan Belanda. Pemberontakan ini dapat dipadamkan setelah melalui
berbagai kesukaran dan kerugian yang besar.1 Walaupun perang ini mempunyai ciri
keagamaan atau Imam Mahdi, terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa pemberontakan
yang didukung oleh rakyat pada intinya merupakan kebencian kepada pemerintah
kolonial sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang buruk. Contohnya, keluhan pahit
menentang permintaan-permintaan yang berlebihan dalam bentuk pajak dan jasa-jasa
atas Particuliere Landaerijen (tanah-tanah pertikulir).2 Di Belanda, Pemerintah juga
menghadapi kesulitan keuangan dan memerlukan sumbangan dari daerah-daerah
jajahannya.3 Kesulitan keuangan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa harga
komoditi pertanian daerah tropis jatuh di pasar dunia dan petani Jawa harus bersaing
dengan negeri-negeri lain, terutama Amerika dan Hindia Barat, yang dapat
menghasilkan komoditi yang sama seperti gula dan nila dengan tingkat harga yang
rendah berkat penggunaan tenaga budak.4
Van Den Bosch, yang menggantikan Van Der Cappellen, muncul dengan suatu
gagasan Culturstelsel. Tujuannya adalah untuk membuat Jawa sebagai suatu asset yang
bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya
produksi yang serendah mungkin.
Menurut sistem yang baru ini, rakyat harus menanam 1/5 tanah desa dengan
tebu, kopi atau nila. Persyaratan tersebut kemudian diganti menjadi 1/3. Pada tahun
1 Robert Van Niel, “The Course of Indonesia History,” dalam Ruth T. McVay Indonesia (New
Haven : Southeast Asian Studies, Yale University, 1963), h. 283-289.
2 Lihat Sartono Kartodirjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agraria Unrest in the
Nineteenth and Early Twentieth Countries (New York : Oxford University Press, 1973), h. 21-22.
3 Situasi semakin lebih menyedihkan ketika Belanda sendiri, setelah kehilangan Belgia tahun
1830, mengalami suatu kebangkrutan, Ailsa Zainuiddin, A Short History of Indonesia (Victoria : Cassel
Australia, Ltd., 1968, h. 128, lihat juga John.O.H. Broek, Economic Development of The Netherlands
India (New York : Institute of Pacific relation, 1942), h. 10.
4 Robert Van Neil, “The Function of Land Rent under the Cultivation System in Java”, Journal
of Asian Studies 23 (1964) : 359 R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry (London
: Oxford University Press, 1984) h. 34-35.
3
1983 Van Den Bosch mengumumkan bahwa sewa tanah tidak perlu dibayar jika rakyat
menanam tanaman-tanaman ini pada tanah mereka dan menjualnya kepada pemerintah
dengan tingkat harga yang rendah. Penerapan kebijaksanaan ini bertentangan dengan
konsep awalnya. Di beberapa daerah, kebijaksanaan ini diterapkan dibawah tekanan dan
paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan atas tanam
paksa, dimana Pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan
hasilnya harus dijual pada pemerintah. Pandangan-pandangan yang berbeda tampak
diantara kalangan akademis mengenai apa sebenarnya fungsi sewa tanah di bawah
sistem tanam paksa. Beberapa orang percaya bahwa ini hanyalah suatu ukuran untuk
menjamin hasil produksi pertanian guna keperluan ekspor pemerintah. Jika suatu desa
menghasilkan jumlah yang lebih besar dari uang sewa, pemerintah akan membayar
imbalan kepada penduduk desa tersebut. Sebaliknya, jika produksi mempunyai nilai
yang kurang dari uang sewa, desa harus membayar kekurangannya dalam bentuk uang
tunai atau hasil bumi.5
Van Den Bosch berpendapat bahwa sistem ini hanya akan berfungsi jika suatu
persekutuan dibentuk antara pemerintah kolonial, bupati-bupati, dan kepala-kepala desa.
Tahun 1831 dia mengembalikan kekuasaan bupati-bupati, yang pada waktu itu
dihapuskan oleh Raffles. Menurut Van Den Bosch, kebijaksanaan liberal Raffles pada
waktu lampau, yang begitu menaruh perhatian terhadap kekuasaan bupati-bupati atas
rakyat dan hendak menghapuskannya, bertanggung jawab atas ketidakstabilan yang di
pulau ini. Stabilitas di Jawa hanya dapat di capai, kata Ven Den Bosch, “atas dasar
penegakkan kekuasaan bangsawan yang berdiri kukuh, melalui pengaruh mereka,
berjuta-juta penduduk dapat tunduk pada kita”. Tahun 1863, dia mengeluarkan suatu
peraturan yang memperbaharui kekuasaan bupati-bupati atas Rakyat.6 Setelah
mengadakan perundingan-perundingan dengan para bupati dan kepala-kepala distrik,
pemerintah memutuskan mana tanah yang harus ditanami, misalnya dengan tebu; dan
desa mana yang akan diwajibkan untuk menyediakan buruh-buruh untuk keperluan
penanaman, pengangkutan hasil pertanian, pengelohan, dan sebagainya. Adminitrasi
Belanda tidak terlibat secara langsung dalam pengurusan tersebut; kepala-kepala desa
5 Robert Van Neil, op.cit., h. 366. Lihat juga “A Kumar, The Peasantry and The State on Java :
“Changes in Relationship, Seventeenth to Nineteenth Centuries”, dalam Indonesia : Australia
Perspectives, ed. J.A.C. Mackie (Canberra : Australia National University, 1980), h. 577-600.
6 John Bastin, The Native Policies of Sir Stanford Raffles in Java and Sumatera, an Economic
Interpretation (London : Oxford University Press, 1957), h. 71.
4
yang memeriksa perkebunan atas nama pemerintah dan bertanggung jawab atas
keberhasilannya. Setiap hari mereka memberikan tugas-tugas kepada penduduk desa,
yang menggarap tanah, meliputi penanaman dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
dengan pengelohan tanah.7
Sistem tanam paksa mengakibatkan perobahan pola penguasaan tanah di desadesa
Jawa pada waktu itu. Tanah yang semula digarap secara individu, kini menjadi
milik bersama orang-orang desa. Dalam kerangka tersebut tanah dibagi-bagikan kepada
sebanyak mungkin orang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja. Penduduk desa
yang mendapatkan tanah desa diharuskan bekerja untuk desa atau untuk pemerintah.
Sebagai akibat dari hal tersebut sikep (petani-petani yang mempunyai tanah) menjadi
tidak ada lagi, sebab tanah mereka didistribusikan kepada petani numpang (petanipetani
yang tak mempunyai tanah), sehingga dapat membujuk mereka untuk tidak
pindah ketempat lain demi menghindari beban yang berat sebagai buruh paksa.8
Sebaliknya, kaum bangsawan dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan atas
tanah untuk menjadikannya sebagai hak milik dari desa-desa yang mereka kuasai.
Untuk pemerintah kolonial, sistem tanam paksa di bawah Van den Bosch
membawa hasil-hasil yang tak terduga. Nilai ekspor dari Jawa terus meningkat, naik
menjadi 11,3 juta gulden pada tahun 1830. Pada 1840, perhitungan ini meningkat
menjadi 66,1 juta. Total ekspor dari Jawa volumenya meningkat selama periode tersebut
dari 36,4 menjadi 161,7 juta kilogram. Persentase dari ekspor ini yang ditujukan ke
Belanda meningkat dari 66 pada tahun 1830 menjadi rata-rata 83 pada tahun 1841
sampai 1850 dan menjadi lebih dari 90 dalam periode setelah 1861.9 Tidak ada keraguraguan
bahwa setelah tahun 1840 negeri Belanda memperoleh keuntungan dari laba
ekspor kolonial yang meningkat sangat besar, dan keuntungan-keuntungan atas ekspor
ini memainkan peranan sebagai pemasukan yang sangat besar bagi anggaran Negeri
Belanda.
7 C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 191.
8 Onghokham, Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad 19 : Pajak dan Pengaruhnya
Terhadap Pengusaan Tanah, (Bogor : Survey Agro Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, 1979), h. 15-16.
9 C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 137.
5
Ada yang berpendapat bahwa sistem tanam paksa juga meningkatkan standar
kehidupan di Jawa, khususnya di wilayah dimana terdapat perkebunan tebu. Ini dapat
diukur dari peningkatan import tekstil untuk penduduk asli Jawa dan Madura, lebih
banyak beras yang diekspor, dan lebih banyak pendapatan yang diperoleh dari pajakpajak
perdagangan lokal pada pasar-pasar pribumi.10 Juga terdapat peningkatan dalam
populasi ternak yang dikelola oleh pribumi. Penduduk juga meningkat karena
perbaikan-perbaikan tersebut. Namun pendapat-pendapat seperti ini tentu dapat
disangkal. Sistem kerja paksa membutuhkan lebih banyak buruh sehingga, keluargakeluarga
Jawa dipaksa untuk mempunyai lebih banyak anak. Tambahan anak
memungkinkan tersedianya tenaga kerja untuk mengolah tanah penyambung nafkah
hidup, sementara tenaga lainnya dapat menjalankan kerja wajib yang diharuskan oleh
sistem tanam paksa.11
Pendapat yang berbeda tentang pengertian “kesejahteraan” ini, jika
kesejahteraan itu benar-benar ada, yaitu hanya sebagian kecil orang-orang tertentu yang
diuntungkan oleh sistem tersebut yaitu golongan elite pada waktu itu seperti bupatibupati,
kepala-kepala desa, dan pengusaha-pengusaha Cina. Kesejateraan mereka
diperoleh hanya atas beban yang dipikul oleh rakyat Jawa.12 Rakyat menderita, karena
harus menanam tanaman-tanaman yang diperlukan dan menyediakan diri pula sebagai
tenaga kerja yang diperlukan oleh para pejabat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
umum. Pengaturan ini membutuhkan begitu banyak waktu sehingga mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Di beberapa daerah, seperti
Cirebon (1840an) Semarang (1849-1850) dan Demak, hal itu telah menimbulkan
bencana kelaparan. Di Semarang, bencana kelaparan diduga mengakibatkan 200.000
korban meninggal atau terpaksa pindah ke daerah lain. Hal tersebut menjadi halaman
hitam dalam sejarah pemerintahan Belanda di Jawa.13
10 R.E. Elson, Javanese Peasant And The Colonial Sugar Industry (Singapore, Oxford, New
York : Oxford University Press, 1984), h. 83 C. Fasseur, Ibid., h. 145-147.
11 Benjamin White, “Demand For Labor and Population Growth in Colonial Java”, “Human
Ecology Vol. 1,3 (1973) : 217 lihat juga Daniel Chirot, Social Change in The Modern Era, (New York,
Chicago : Harcourt Brace Jovanivick, Publishers, 1986), h. 174.
12 G.R. Knight, “From Plantation to Padi Field : The Origins of The Nineteenth Century
Transformation of Java’s Sugar Industry”, Modern Asian Studies 14,2 (1980) : 149-199. W.F Wertheim,
Indonesia Society in Transition, a Study of Social Change (The Hague Bandung W. Van Hoeve Ltd.,
1956), h. 240-241.
13 W.R. Hugenhaltz, “Famine and food supply in Java 1830-1914”, dalam Two Colonial
Empires, ed, C.A. Bayly and D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 165.
6
Sistem tanam paksa menciptakan kekuasaan otoriter pada tingkat atas dan
kesengsaraan pada kalangan rakyat. Sistem itu juga menhapuskan peranan usaha-usaha
swasta. Situasi ini menjadi pusat kritik Partai Liberal, yang kemudian berkembang
semakin kuat dan akhirnya pada tahun 1854, memenangkan suatu mayoritas di
Parlemen Belanda.14
3. Agrarische Wet 1870 Untuk Mengundang Investor Swasta
Kekeuatan Partai Liberal yang terus meningkat di Negeri Belanda mendorong
perubahan-perubahan politik di wilayah jajahan yang sebagian didasarkan pada alasan
kemanusian, sebagian lainnya bersumber pada filsafat ekonomi liberal. Kaum liberal
percaya mengenai keuntungan-keuntungan ekonomi pasar bebas, tidak hanya untuk
rakyat Jawa tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan Belanda secara umum. Sistem
tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, begitu juga monopoli pemerintah.
Pada akhirnya kemudian perusahaan swasta boleh meluaskan usahanya.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah bagaimana membuka pulau Jawa untuk
investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah
disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan
kota-kota atau desa-desa.
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti
akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia
asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.15
Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan
yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari
dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar
dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di
wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal
meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria
yang baru.
14 J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice, A Comparative Study of Birma and Netherlands
India (New York : New York University Press, 1956).
15 A.D.A. De Kat Anggelino, Colonial Policy (The Hagve : Marthinus Nijhoff, 1931), h. 438.
7
Terdapat perbedaan pendapat antara golongan Liberal dan golongan Konservatif
mengenai kebijaksanaan pertanahan di Jawa. Kaum liberal menekankan perlunya
perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak
kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga
tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah
yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu
dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka
waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.16 Kaum konservatif
menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan
pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat
disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.17
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang
berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalahmasalah
Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan
suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencitacitakan
pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian
didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu
hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah
kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah
oleh orang Eropa.18 Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan
swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun,
dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan
mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan
swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.19
Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van
Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur
tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini
16 J.S. Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London : Cambridge University
Press, 1939), h. 78-79. Mochammad Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952),
h. 63.
17 Hiroyhoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community in Nineteenth Century Java
(Tokyo : Institute of Development Economics, 1977), h. 5
18 J.S. Furnivall, op.cit., h. 164.
19 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
8
menyebabkan Van de Putte kehilangan jabatannya.20 Perbedaan antara golongan Liberal
dan Konservatif menyebabkan Raja mengeluarkan instruksi kepada Gubernur Jenderal
untuk melakukan suatu survey tanah di Jawa.
Penelitian yang dimulai tahun 1868, mencakup semua tanah yang ada dibawah
pengawasan langsung pemerintah kolonial. Semua kabupaten di Jawa dan Madura,
kecuali Batavia dan Kerajaan Yogyakarta dan Solo, menjadi bagian dari penelitian ini.
Survey ini memilih dua desa di tiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan desa yang
disurvey adalah 808. Walaupun penelitian selesai tahun 1870, hasilnya belum segera
tersusun. Semua laporan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1876, 1880, 1896 secara
berturut-turut.21 Oleh karena itu hasil penelitian tersebut hanya mempunyai sedikit
pengaruh terhadap kebijaksanaan pertanahan.
Sementara itu, pada tahun 1870 Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria)
berhasil dilahirkan. Undang-Undang tersebut memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering
Reglement (1854) ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar
mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan
untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif.
Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi
kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap
tidak dibatasi. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan
dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para
pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah
untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi.
Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi
atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka
mendapatkan hak milik pribadi. Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the
wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota
atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perushaan komersial
(bukan pertanian dan kerajinan).
20 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
21 J.S. Furnivall, Ibid., h. 180.
9
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini
tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap
tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah
perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.
4. Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
5. Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati
hak-hak tanah penduduk asli.
6. Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk
asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk
wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk
tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk
pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat
diberikan.
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka
berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak
lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
8. Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang.22
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa
dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal 1
menyatakan :
“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6
Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak
miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”.23
Ketentuan ini melahirkan penafsiran yang berbeda, umpamanya, Prof. Nalts
Trenite, mempertahankan pendapat bahwa tanah yang menurut hukum dikecualikan dari
milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh
penduduk. Pandangan ini ditolak oleh sarjana lain, seperti Van Vollenhoven, Logemann
dan Ter Haar. Menurut mereka, tujuan yang sebenarnya dari pembuat undang-undang
22 Stlb. 1925-447
23 Stlb. 1870-118.
10
adalah tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke
puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak secara
diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.24 Menurut hukum adat, desa
mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari
kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut
pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah
kekuasaan negara. Apabila mengikuti pendapat Trenite, tidak cukup untuk
menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk suatu desa atau desa yang lain
menyatakan bahwa tanah bersangkutan dibawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu
dibuktikan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian territorial desa,
harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan
sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk
maksud-maksud lain.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu, seperti, hak eigendom
(hak milik); opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain);
dan erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan lain-lain. Disamping hak-hak yang
diundangkan tersebut, hak-hak adat terus berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk
memungut hasil hutan, hak pakai, hak gadai dan hak sewa.
4. Penutup
Sejak diundangkannya Agrarische Wet 1870, yang memberikan hak ”erfpacht”
(hak sewa turun temurun) dan hak ”opstal” (hak untuk membangun atau mengusahakan
tanah milik orang lain) selama 75 tahun kepada perusahaan-perusahaan swasta,
perusahaan Belanda dan negeri lain datang ke Indonesia membuka perkebunanperkebunan
tembakau, gula, karet, teh dan kelapa sawit. Komoditi tersebut di jual di
pasar Eropa dan Amerika Utara.
________
24 A.D.A. De Kat Anggelino, op.cit., h. 441.
INDONESIA : HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN∗
Oleh : Erman Rajagukguk∗∗
1. Pendahuluan
Indonesia pernah dijajah Inggris selama lima tahun (1811-1816). Gubernur
Jenderal Raffles mengenalkan sistem sewa tanah di pulau Jawa. Raffles memandang
semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan
Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk
penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di
India.
Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, setelah pulau tersebut
dikembalikan Inggris kepada Belanda. Belanda meninjau kembali kebijaksanaan
mereka atas Jawa. Gubernur Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu
kebijaksanaan, diantaranya ialah, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah
mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini,
orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah. Pada tahun 1827, sebagian besar
sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya
dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk
Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan
demikian mampu membayar sewa tanah.
2. Tanam Paksa Menjadikan Rakyat Sengsara
Kebijakan Belanda kemudian berubah karena kesulitan keuangan dan persaingan
ketat. Pemberontakan Diponegoro tahun 1852-1830 menguras keuangan pemerintah
kolonial di Jawa. Kebijaksanaan Belanda yang membingungkan kedudukan orang-orang
Eropa dan Jawa menyebabkan pecahnya perang. Pertentangan mulai setelah pemerintah
kolonial membatalkan perjanjian-perjanjian sewa tanah antara pengusaha-pengusaha
∗ Disampaikan pada Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi :
Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu
(ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007.
∗∗ Guru Besar Universitas Indonesia. Sarjana Hukum (SH) Universitas Indonesia (1974), LL.M.
University of Washington, School of Law, Seattle (1984), Ph.D University of Washington, School of
Law, Seattle (1988). Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
2
Eropa dan para pangeran dari kerajaan Surakarta dan Jogyakarta di Jawa Tengah.
Penghapusan atas kontrak-kontrak ini menyebabkan kesulitan keuangan bagi penyewapenyewa
pribumi, yang telah benci terhadap bermacam pelanggaran terhadap hak-hak
istimewa bangsawan oleh Deandels dan pengganti-penggantinya. Mereka menyerahkan
kepemimpinan kepada Diponegoro, seorang pangeran dari kalangan istana Jogyakarta
yang diakui sebagai seorang penantang pengaruh Eropa di istana dan yang mempunyai
suatu reputasi kuat sebagai pemimpin mistis. Diponegoro menyatakan suatu “perang
suci” Islam melawan Belanda. Pemberontakan ini dapat dipadamkan setelah melalui
berbagai kesukaran dan kerugian yang besar.1 Walaupun perang ini mempunyai ciri
keagamaan atau Imam Mahdi, terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa pemberontakan
yang didukung oleh rakyat pada intinya merupakan kebencian kepada pemerintah
kolonial sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang buruk. Contohnya, keluhan pahit
menentang permintaan-permintaan yang berlebihan dalam bentuk pajak dan jasa-jasa
atas Particuliere Landaerijen (tanah-tanah pertikulir).2 Di Belanda, Pemerintah juga
menghadapi kesulitan keuangan dan memerlukan sumbangan dari daerah-daerah
jajahannya.3 Kesulitan keuangan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa harga
komoditi pertanian daerah tropis jatuh di pasar dunia dan petani Jawa harus bersaing
dengan negeri-negeri lain, terutama Amerika dan Hindia Barat, yang dapat
menghasilkan komoditi yang sama seperti gula dan nila dengan tingkat harga yang
rendah berkat penggunaan tenaga budak.4
Van Den Bosch, yang menggantikan Van Der Cappellen, muncul dengan suatu
gagasan Culturstelsel. Tujuannya adalah untuk membuat Jawa sebagai suatu asset yang
bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya
produksi yang serendah mungkin.
Menurut sistem yang baru ini, rakyat harus menanam 1/5 tanah desa dengan
tebu, kopi atau nila. Persyaratan tersebut kemudian diganti menjadi 1/3. Pada tahun
1 Robert Van Niel, “The Course of Indonesia History,” dalam Ruth T. McVay Indonesia (New
Haven : Southeast Asian Studies, Yale University, 1963), h. 283-289.
2 Lihat Sartono Kartodirjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agraria Unrest in the
Nineteenth and Early Twentieth Countries (New York : Oxford University Press, 1973), h. 21-22.
3 Situasi semakin lebih menyedihkan ketika Belanda sendiri, setelah kehilangan Belgia tahun
1830, mengalami suatu kebangkrutan, Ailsa Zainuiddin, A Short History of Indonesia (Victoria : Cassel
Australia, Ltd., 1968, h. 128, lihat juga John.O.H. Broek, Economic Development of The Netherlands
India (New York : Institute of Pacific relation, 1942), h. 10.
4 Robert Van Neil, “The Function of Land Rent under the Cultivation System in Java”, Journal
of Asian Studies 23 (1964) : 359 R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry (London
: Oxford University Press, 1984) h. 34-35.
3
1983 Van Den Bosch mengumumkan bahwa sewa tanah tidak perlu dibayar jika rakyat
menanam tanaman-tanaman ini pada tanah mereka dan menjualnya kepada pemerintah
dengan tingkat harga yang rendah. Penerapan kebijaksanaan ini bertentangan dengan
konsep awalnya. Di beberapa daerah, kebijaksanaan ini diterapkan dibawah tekanan dan
paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan atas tanam
paksa, dimana Pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan
hasilnya harus dijual pada pemerintah. Pandangan-pandangan yang berbeda tampak
diantara kalangan akademis mengenai apa sebenarnya fungsi sewa tanah di bawah
sistem tanam paksa. Beberapa orang percaya bahwa ini hanyalah suatu ukuran untuk
menjamin hasil produksi pertanian guna keperluan ekspor pemerintah. Jika suatu desa
menghasilkan jumlah yang lebih besar dari uang sewa, pemerintah akan membayar
imbalan kepada penduduk desa tersebut. Sebaliknya, jika produksi mempunyai nilai
yang kurang dari uang sewa, desa harus membayar kekurangannya dalam bentuk uang
tunai atau hasil bumi.5
Van Den Bosch berpendapat bahwa sistem ini hanya akan berfungsi jika suatu
persekutuan dibentuk antara pemerintah kolonial, bupati-bupati, dan kepala-kepala desa.
Tahun 1831 dia mengembalikan kekuasaan bupati-bupati, yang pada waktu itu
dihapuskan oleh Raffles. Menurut Van Den Bosch, kebijaksanaan liberal Raffles pada
waktu lampau, yang begitu menaruh perhatian terhadap kekuasaan bupati-bupati atas
rakyat dan hendak menghapuskannya, bertanggung jawab atas ketidakstabilan yang di
pulau ini. Stabilitas di Jawa hanya dapat di capai, kata Ven Den Bosch, “atas dasar
penegakkan kekuasaan bangsawan yang berdiri kukuh, melalui pengaruh mereka,
berjuta-juta penduduk dapat tunduk pada kita”. Tahun 1863, dia mengeluarkan suatu
peraturan yang memperbaharui kekuasaan bupati-bupati atas Rakyat.6 Setelah
mengadakan perundingan-perundingan dengan para bupati dan kepala-kepala distrik,
pemerintah memutuskan mana tanah yang harus ditanami, misalnya dengan tebu; dan
desa mana yang akan diwajibkan untuk menyediakan buruh-buruh untuk keperluan
penanaman, pengangkutan hasil pertanian, pengelohan, dan sebagainya. Adminitrasi
Belanda tidak terlibat secara langsung dalam pengurusan tersebut; kepala-kepala desa
5 Robert Van Neil, op.cit., h. 366. Lihat juga “A Kumar, The Peasantry and The State on Java :
“Changes in Relationship, Seventeenth to Nineteenth Centuries”, dalam Indonesia : Australia
Perspectives, ed. J.A.C. Mackie (Canberra : Australia National University, 1980), h. 577-600.
6 John Bastin, The Native Policies of Sir Stanford Raffles in Java and Sumatera, an Economic
Interpretation (London : Oxford University Press, 1957), h. 71.
4
yang memeriksa perkebunan atas nama pemerintah dan bertanggung jawab atas
keberhasilannya. Setiap hari mereka memberikan tugas-tugas kepada penduduk desa,
yang menggarap tanah, meliputi penanaman dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
dengan pengelohan tanah.7
Sistem tanam paksa mengakibatkan perobahan pola penguasaan tanah di desadesa
Jawa pada waktu itu. Tanah yang semula digarap secara individu, kini menjadi
milik bersama orang-orang desa. Dalam kerangka tersebut tanah dibagi-bagikan kepada
sebanyak mungkin orang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja. Penduduk desa
yang mendapatkan tanah desa diharuskan bekerja untuk desa atau untuk pemerintah.
Sebagai akibat dari hal tersebut sikep (petani-petani yang mempunyai tanah) menjadi
tidak ada lagi, sebab tanah mereka didistribusikan kepada petani numpang (petanipetani
yang tak mempunyai tanah), sehingga dapat membujuk mereka untuk tidak
pindah ketempat lain demi menghindari beban yang berat sebagai buruh paksa.8
Sebaliknya, kaum bangsawan dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan atas
tanah untuk menjadikannya sebagai hak milik dari desa-desa yang mereka kuasai.
Untuk pemerintah kolonial, sistem tanam paksa di bawah Van den Bosch
membawa hasil-hasil yang tak terduga. Nilai ekspor dari Jawa terus meningkat, naik
menjadi 11,3 juta gulden pada tahun 1830. Pada 1840, perhitungan ini meningkat
menjadi 66,1 juta. Total ekspor dari Jawa volumenya meningkat selama periode tersebut
dari 36,4 menjadi 161,7 juta kilogram. Persentase dari ekspor ini yang ditujukan ke
Belanda meningkat dari 66 pada tahun 1830 menjadi rata-rata 83 pada tahun 1841
sampai 1850 dan menjadi lebih dari 90 dalam periode setelah 1861.9 Tidak ada keraguraguan
bahwa setelah tahun 1840 negeri Belanda memperoleh keuntungan dari laba
ekspor kolonial yang meningkat sangat besar, dan keuntungan-keuntungan atas ekspor
ini memainkan peranan sebagai pemasukan yang sangat besar bagi anggaran Negeri
Belanda.
7 C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 191.
8 Onghokham, Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad 19 : Pajak dan Pengaruhnya
Terhadap Pengusaan Tanah, (Bogor : Survey Agro Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, 1979), h. 15-16.
9 C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 137.
5
Ada yang berpendapat bahwa sistem tanam paksa juga meningkatkan standar
kehidupan di Jawa, khususnya di wilayah dimana terdapat perkebunan tebu. Ini dapat
diukur dari peningkatan import tekstil untuk penduduk asli Jawa dan Madura, lebih
banyak beras yang diekspor, dan lebih banyak pendapatan yang diperoleh dari pajakpajak
perdagangan lokal pada pasar-pasar pribumi.10 Juga terdapat peningkatan dalam
populasi ternak yang dikelola oleh pribumi. Penduduk juga meningkat karena
perbaikan-perbaikan tersebut. Namun pendapat-pendapat seperti ini tentu dapat
disangkal. Sistem kerja paksa membutuhkan lebih banyak buruh sehingga, keluargakeluarga
Jawa dipaksa untuk mempunyai lebih banyak anak. Tambahan anak
memungkinkan tersedianya tenaga kerja untuk mengolah tanah penyambung nafkah
hidup, sementara tenaga lainnya dapat menjalankan kerja wajib yang diharuskan oleh
sistem tanam paksa.11
Pendapat yang berbeda tentang pengertian “kesejahteraan” ini, jika
kesejahteraan itu benar-benar ada, yaitu hanya sebagian kecil orang-orang tertentu yang
diuntungkan oleh sistem tersebut yaitu golongan elite pada waktu itu seperti bupatibupati,
kepala-kepala desa, dan pengusaha-pengusaha Cina. Kesejateraan mereka
diperoleh hanya atas beban yang dipikul oleh rakyat Jawa.12 Rakyat menderita, karena
harus menanam tanaman-tanaman yang diperlukan dan menyediakan diri pula sebagai
tenaga kerja yang diperlukan oleh para pejabat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
umum. Pengaturan ini membutuhkan begitu banyak waktu sehingga mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Di beberapa daerah, seperti
Cirebon (1840an) Semarang (1849-1850) dan Demak, hal itu telah menimbulkan
bencana kelaparan. Di Semarang, bencana kelaparan diduga mengakibatkan 200.000
korban meninggal atau terpaksa pindah ke daerah lain. Hal tersebut menjadi halaman
hitam dalam sejarah pemerintahan Belanda di Jawa.13
10 R.E. Elson, Javanese Peasant And The Colonial Sugar Industry (Singapore, Oxford, New
York : Oxford University Press, 1984), h. 83 C. Fasseur, Ibid., h. 145-147.
11 Benjamin White, “Demand For Labor and Population Growth in Colonial Java”, “Human
Ecology Vol. 1,3 (1973) : 217 lihat juga Daniel Chirot, Social Change in The Modern Era, (New York,
Chicago : Harcourt Brace Jovanivick, Publishers, 1986), h. 174.
12 G.R. Knight, “From Plantation to Padi Field : The Origins of The Nineteenth Century
Transformation of Java’s Sugar Industry”, Modern Asian Studies 14,2 (1980) : 149-199. W.F Wertheim,
Indonesia Society in Transition, a Study of Social Change (The Hague Bandung W. Van Hoeve Ltd.,
1956), h. 240-241.
13 W.R. Hugenhaltz, “Famine and food supply in Java 1830-1914”, dalam Two Colonial
Empires, ed, C.A. Bayly and D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 165.
6
Sistem tanam paksa menciptakan kekuasaan otoriter pada tingkat atas dan
kesengsaraan pada kalangan rakyat. Sistem itu juga menhapuskan peranan usaha-usaha
swasta. Situasi ini menjadi pusat kritik Partai Liberal, yang kemudian berkembang
semakin kuat dan akhirnya pada tahun 1854, memenangkan suatu mayoritas di
Parlemen Belanda.14
3. Agrarische Wet 1870 Untuk Mengundang Investor Swasta
Kekeuatan Partai Liberal yang terus meningkat di Negeri Belanda mendorong
perubahan-perubahan politik di wilayah jajahan yang sebagian didasarkan pada alasan
kemanusian, sebagian lainnya bersumber pada filsafat ekonomi liberal. Kaum liberal
percaya mengenai keuntungan-keuntungan ekonomi pasar bebas, tidak hanya untuk
rakyat Jawa tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan Belanda secara umum. Sistem
tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, begitu juga monopoli pemerintah.
Pada akhirnya kemudian perusahaan swasta boleh meluaskan usahanya.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah bagaimana membuka pulau Jawa untuk
investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah
disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan
kota-kota atau desa-desa.
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti
akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia
asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.15
Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan
yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari
dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar
dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di
wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal
meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria
yang baru.
14 J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice, A Comparative Study of Birma and Netherlands
India (New York : New York University Press, 1956).
15 A.D.A. De Kat Anggelino, Colonial Policy (The Hagve : Marthinus Nijhoff, 1931), h. 438.
7
Terdapat perbedaan pendapat antara golongan Liberal dan golongan Konservatif
mengenai kebijaksanaan pertanahan di Jawa. Kaum liberal menekankan perlunya
perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak
kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga
tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah
yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu
dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka
waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.16 Kaum konservatif
menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan
pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat
disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.17
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang
berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalahmasalah
Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan
suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencitacitakan
pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian
didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu
hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah
kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah
oleh orang Eropa.18 Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan
swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun,
dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan
mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan
swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.19
Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van
Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur
tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini
16 J.S. Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London : Cambridge University
Press, 1939), h. 78-79. Mochammad Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952),
h. 63.
17 Hiroyhoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community in Nineteenth Century Java
(Tokyo : Institute of Development Economics, 1977), h. 5
18 J.S. Furnivall, op.cit., h. 164.
19 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
8
menyebabkan Van de Putte kehilangan jabatannya.20 Perbedaan antara golongan Liberal
dan Konservatif menyebabkan Raja mengeluarkan instruksi kepada Gubernur Jenderal
untuk melakukan suatu survey tanah di Jawa.
Penelitian yang dimulai tahun 1868, mencakup semua tanah yang ada dibawah
pengawasan langsung pemerintah kolonial. Semua kabupaten di Jawa dan Madura,
kecuali Batavia dan Kerajaan Yogyakarta dan Solo, menjadi bagian dari penelitian ini.
Survey ini memilih dua desa di tiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan desa yang
disurvey adalah 808. Walaupun penelitian selesai tahun 1870, hasilnya belum segera
tersusun. Semua laporan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1876, 1880, 1896 secara
berturut-turut.21 Oleh karena itu hasil penelitian tersebut hanya mempunyai sedikit
pengaruh terhadap kebijaksanaan pertanahan.
Sementara itu, pada tahun 1870 Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria)
berhasil dilahirkan. Undang-Undang tersebut memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering
Reglement (1854) ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar
mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan
untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif.
Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi
kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap
tidak dibatasi. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan
dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para
pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah
untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi.
Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi
atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka
mendapatkan hak milik pribadi. Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the
wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota
atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perushaan komersial
(bukan pertanian dan kerajinan).
20 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
21 J.S. Furnivall, Ibid., h. 180.
9
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini
tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap
tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah
perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.
4. Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
5. Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati
hak-hak tanah penduduk asli.
6. Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk
asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk
wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk
tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk
pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat
diberikan.
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka
berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak
lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
8. Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang.22
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa
dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal 1
menyatakan :
“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6
Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak
miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”.23
Ketentuan ini melahirkan penafsiran yang berbeda, umpamanya, Prof. Nalts
Trenite, mempertahankan pendapat bahwa tanah yang menurut hukum dikecualikan dari
milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh
penduduk. Pandangan ini ditolak oleh sarjana lain, seperti Van Vollenhoven, Logemann
dan Ter Haar. Menurut mereka, tujuan yang sebenarnya dari pembuat undang-undang
22 Stlb. 1925-447
23 Stlb. 1870-118.
10
adalah tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke
puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak secara
diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.24 Menurut hukum adat, desa
mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari
kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut
pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah
kekuasaan negara. Apabila mengikuti pendapat Trenite, tidak cukup untuk
menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk suatu desa atau desa yang lain
menyatakan bahwa tanah bersangkutan dibawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu
dibuktikan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian territorial desa,
harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan
sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk
maksud-maksud lain.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu, seperti, hak eigendom
(hak milik); opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain);
dan erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan lain-lain. Disamping hak-hak yang
diundangkan tersebut, hak-hak adat terus berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk
memungut hasil hutan, hak pakai, hak gadai dan hak sewa.
4. Penutup
Sejak diundangkannya Agrarische Wet 1870, yang memberikan hak ”erfpacht”
(hak sewa turun temurun) dan hak ”opstal” (hak untuk membangun atau mengusahakan
tanah milik orang lain) selama 75 tahun kepada perusahaan-perusahaan swasta,
perusahaan Belanda dan negeri lain datang ke Indonesia membuka perkebunanperkebunan
tembakau, gula, karet, teh dan kelapa sawit. Komoditi tersebut di jual di
pasar Eropa dan Amerika Utara.
________
24 A.D.A. De Kat Anggelino, op.cit., h. 441.
Senin, 09 November 2009
gangguan dalam school
dalam masa belajar kita sering mengalami masa gangguan sperti kita ingin blajar tapi teman" slalu ngajak ngobrol la, main la, OL la, dan buanyak lagi karena itu saya ingin mengajak teman teman smua untuk tidak mengganggu teman yang ingin blajar maupun ada yang ngajak becanda ato apa pun itu kamu bilang aja tolong la nanti aja gw maw serius neh maw kejar prestasi yang udah ketinggalan ok.....
nah bilang gt aja pasti dy ngerti dech n kamu jga sebaik na belajar lebih giat lagi karna di school saya aja ketat buanget loh bicara bahasa indo aja langsung kena point tapi dalam pelajaran internasional aja seh tapi bagus jga sih karna isa meningkatkan daya serap karna kalo kita maw bicara dengan teman kan aruz dalam bahasa ingriss jadi kita terpacu untuk mencari kata" ter sebut jadi kita mudah untuk berbicara bahasa ingriss
nah bilang gt aja pasti dy ngerti dech n kamu jga sebaik na belajar lebih giat lagi karna di school saya aja ketat buanget loh bicara bahasa indo aja langsung kena point tapi dalam pelajaran internasional aja seh tapi bagus jga sih karna isa meningkatkan daya serap karna kalo kita maw bicara dengan teman kan aruz dalam bahasa ingriss jadi kita terpacu untuk mencari kata" ter sebut jadi kita mudah untuk berbicara bahasa ingriss
Jumat, 06 November 2009
giatlah belajar
ui teman" marilah qta smua belajar n masa qta kalah ama anak singapore sih mreka kan plajaran na gx susah bukti na pelajar sma 1 masih masih sangat mudah dan sangat mudah untuk di plajari karna itu merupakan pelajaran kelas smp 2 tp mreka blajar na efektif jdi klihatan na sangat rajin dan pinter buanget tp ada 1 sistem yang bagus dari program singpore yaitu mereka pelajarn awal memang gampang buanget berbeda dengan indonasia yang pejaran na mudah lalu susah lalu mudah lagi jadi tidak memitu tingkat belajar anak" klo menurut sayang dengan cara yang dilakukan singapore itu bagus karna mereka dari mudah dan lang sung susah karna kebanyakan yang mudah sudah di pelajari di SD that's all untuk skarang
Langganan:
Postingan (Atom)